Pancasila dan Beberapa
Permasalahan Bangsa
Para
pendiri NKRI, sebelum bangsa Indonesia berhasil memproklamasikan
kemerdekaannya, telah memikirkan konsep yang kira-kira pas sebagai pedoman
hidup bangsa. Mereka, baik itu yang aliran nasionalis
maupun agamis, pada waktu itu menyepakati bahwa bangunan pedoman hidup yang pas
itu adalah Pancasila.
Dalam
perjalanannya, banyak dari elite yang menginginkan untuk mengubah simbol
persatuan bangsa Indonesia tersebut dengan ideologi yang dianutnya. Sejarah
mencatat, beberapa diantara
mereka adalah kaum agamis fundamentalis dan komunis. Tapi, sekeras apapun mereka berupaya menjungkirkan Pancasila, kenyataannya hingga sekarang Pancasila tetap kokoh sebagai fondasi yang fundamental bagi keberlangsungan hidup bangsa ini.
mereka adalah kaum agamis fundamentalis dan komunis. Tapi, sekeras apapun mereka berupaya menjungkirkan Pancasila, kenyataannya hingga sekarang Pancasila tetap kokoh sebagai fondasi yang fundamental bagi keberlangsungan hidup bangsa ini.
Apakah
nilai-nilai Pancasila sudah sepenuhnya dipraktikkan dalam roda kehidupan anak
bangsa?
Pancasila
yang terdiri dari lima sila memang begitu mudah untuk dihafalkan, tapi
bagaimana untuk menerapkannya agar senantiasa sejalan dengan nafas dan gerak
setiap manusia Indonesia?
Banyak
yang tidak mengetahui bagaimana pastinya praktik kehidupan yang ber-Pancasila
itu dengan sebenar-benarnya. Pendidikan Pancasila yang diajarkan di
sekolah-sekolah serasa tidak mengena, masih berkisar seputar teori lahirnya
Pancasila, moral, dan perilaku baik-buruk yang orang tidak belajar Pancasila
pun sudah mengetahuinya. Di sisi lain, masih banyak orang yang terang-terangan
menolak Pancasila sebagai dasar hidup bangsa, masih banyak orang yang
menghendaki untuk mengubah atau mengganti Pancasila agar sesuai dengan ideologi
yang diyakininya.
Sebagai
ideologi tertulis, Pancasila tetap lah sakti. Tapi bagaimana dengan praktiknya?
Ketidaktetapan
Pancasila
dalam perjalanannya seiring dengan gerak hidup bangsa pascakemerdekaan NKRI,
cenderung diterapkan secara tidak konsisten. Sebagaimana diketahui, Pancasila
merupakan sintesis dari dua ideologi besar yang mendominasi dunia pada awal
berdirinya NKRI. Pancasila berusaha mencari jalan tengah dari ideologi
sosialis-komunis dan ideologi liberal-kapitalis. Ringkasnya, Pancasila, secara
teori merupakan perpaduan nilai-nilai positif dari ideologi sosialis-komunis
dengan ideologi liberial-kapitalis itu.
Masalahnya,
karena berada di tengah-tengah dua ideologi besar yang amat berseberangan itu,
penerapan Pancasila menjadi cenderung diterapkan dengan tidak konsisten,
bergantung pada arah pembangunan politik dan ekonomi rezim penguasa serta
kedekatan rezim penguasa itu dengan negara-negara besar dengan ideologinya
masing-masing. Sesekali waktu, Pancasila didekatkan dengan ideologi
sosialis-komunis (etatis), di lain waktu Pancasila begitu dekat dengan ideologi
liberal-kapitalis.
Saat
Orde Lama misalnya, Pancasila sangat dekat dengan komunisme. Nasakom
menjadi cirinya. Saat Orde Baru, Pancasila seperti terbelah, secara politik
kekuasaan dipraktikkan secara etatisme, sementara secara ekonomi mulai
dijalankan secara liberal-kapitalis. Di era reformasi kini, banyak pihak yang
berpendapat bahwa Pancasila telah semakin dekat dengan ideologi
liberal-kapitalis, baik secara politik maupun ekonomi.
Ketidaktetapan
itu barangkali yang membuat pembangunan bangsa menjadi cenderung tidak fokus.
Karena berjalan dalam platform ideologi jalan tengah itu, Pancasila menjadi
rebutan dua ideologi yang besar dan telah lama eksis. Baik itu ideologi komunis
maupun kapitalis berusaha untuk merangkul bangsa Indonesia agar mau sejalan
dengan ideologi mereka. Disadari atau tidak, fokus pembangunan dan pembentukan
karakter bangsa menjadi sering berubah arah tergantung pada para pemimpin
bangsa serta ideologi yang dekat dengannya itu.
Sila-Sila
Pancasila
Untuk
mengetahui beberapa permasalahan hidup bangsa Indonesia dan kaitannya dengan Pancasila
akan lebih baik jika kita memahami sila-sila Pancasila kemudian
membandingkannya dengan realita kehidupan yang terjadi dalam bangsa Indonesia.
Kira-kira seberapa berhasilkah nilai-nilai Pancasila itu diterapkan dalam
kehidupan bangsa Indonesia?
Sila 1:
Ketuhanan Yang Maha Esa
Bangsa
Indonesia mengakui dan meyakini adanya Tuhan. Tuhan yang dimaksud adalah Tuhan
Yang Maha Esa. Ini berarti hanya ada satu Tuhan menurut bangsa Indonesia.
Dia-lah pencipta dan pengatur kehidupan seluruh umat manusia.
Bangsa
Indonesia juga meyakini bahwa atas kuasa Tuhan pula lah, bangsa ini merdeka.
Hal ini terbukti dari Pembukaan UUD 1945 yang salah satu alineanya diawali
dengan kalimat atas
berkat rahmat Allah…..maka telah sampai lah bangsa Indonesia ke depan pintu kemerdekaan… Dengan sendirinya, berdasarkan rumusan
dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut, bangsa Indonesia selain menganut teori
kedaulatan rakyat juga menganut teori kedaulatan Tuhan. Artinya, bangsa
Indonesia menyadari bahwa bumi pertiwi serta negara Indonesia merupakan
anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dikelola dengan sebaik-baiknya dan akan
dipertanggungjawabkan dihadapan-Nya kelak.
Bangsa
yang meyakini adanya kuasa Tuhan, seharusnya memiliki nilai moral dan spiritual
yang tinggi. Nilai moral dan spiritual yang tinggi diwujudkan dengan kehidupan
masyarakat yang memiliki tingkat relijius tinggi.
Tingkat
relijius yang tinggi sejatinya mampu mewujudkan masyarakat yang aman, damai,
dan tertib. Faktanya, keyakinan terhadap Tuhan yang direpresentasikan dengan
agama belum cukup mampu merelijiuskan masyarakat. Agama sering dipraktikkan
sebagai rangkaian ritualitas belaka, sementara nilai-nilai luhur agama belum
cukup mampu merasuk ke dalam hati dan pemikiran umatnya. Tak heran, Indonesia
bahkan termasuk negara dengan tingkat kejahatan yang tinggi.
Yang
lebih menyedihkan adalah banyak sekali tindak kekerasan yang mengatasnamakan
Tuhan. Karena perintah Tuhan yang ditafsirkan seenaknya sendiri, pembunuhan dan
terorisme masih sering terjadi di Indonesia.
Korupsi
yang merupakan sebuah kejahatan kemanusiaan masih dan terus saja
merajalela. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia berada di peringkat 110 dari 178
negara dengan nilai 2,8 dari rentang 0-10. Sementara negara-negara yang
jelas-jelas menggunakan sistem liberal-sekuler justru memiliki indeks yang
tinggi dan menempati urutan-urutan atas. Bangsa Indonesia yang mencantumkan
nama Tuhan sebagai bagian dari dasar negara justru terpuruk dan terjebak dalam
jejaring korupsi sementara negara-negara yang jelas memisahkan unsur agama
dengan negara justru bisa terbebas dari korupsi.
Sila 2:
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Berdasarkan
Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi dari masing-masing kata yang berkaitan
dan menjadi unsur penyusun sila 2 ini antara lain:
Perikemanusiaan
:
1 sifat-sifat yang layak bagi manusia, seperti
tidak bengis, suka menolong, bertimbang rasa,
2 keadaan manusia pada umumnya.
Adil :
1 sama berat; tidak berat sebelah; tidak memihak
2 berpihak kepada yang benar; berpegang pada
kebenaran
3 sepatutnya; tidak sewenang-wenang.
Adab : kehalusan dan kebaikan budi pekerti;
kesopanan; akhlak.
Sila
ke-2 ini merupakan cerminan watak bangsa Indonesia secara intrapersonal
(individu masing-masing) yang diterapkan secara lebih luas dalam praktik
kehidupan bangsa, termasuk oleh para penyelenggara negara. Secara umum
nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan keadaban itu saya yakin masih melekat
dalam benak bangsa Indonesia. Meskipun fakta di lapangan, ketiga unsur di atas
sulit untuk diterapkan sepenuhnya. Manusia Indonesia banyak yang sudah
kehilangan kemanusiaannya, diwakili dengan banyaknya angka kejahatan kejam yang
terjadi. Hakim dan jaksa banyak yang berpihak pada mereka yang bersedia
membayar, nilai-nilai kesopanan dan akhlak pun banyak yang mulai memudar.
Karena
sangat terkait dengan masalah watak individu masing-masing orang, maka terlalu
banyak contoh kasus untuk menjelaskan hal ini. Barangkali, yang paling banyak
disorot adalah masalah penegakan hukum yang lamban, serta hakim dan jaksa yang berulang
kali terlibat kasus suap-menyuap, hingga keputusannya cenderung tidak adil.
Sila 3:
Persatuan Indonesia
Indonesia
terdiri dari belasan ribu pulau, ratusan suku, bahasa, budaya, dan beberapa
agama. Atas dasar sila ke-3 inilah semua elemen bangsa pada saat itu bersepakat
bersatu dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dari
kesemua sila, sila ke-3 inilah yang saya pikir dipraktikkan dengan paling baik,
meskipun itu masih dibumbui dengan banyak kendala. Masih banyak kepentingan
golongan yang didahulukan daripada kepentingan umum yang lebih besar. Masih
banyak politisi dan pejabat yang lebih mengabdi pada partai politiknya daripada
mengabdi kepada rakyatnya.
Yang
paling berbahaya, praktik paham atau
gerakan untuk memisahkan diri masih seringkali muncul di penjuru tanah
air. Ketidakseimbangan yang terjadi antar daerah sering menjadi akar dalam
masalah ini.
Konflik
antar suku dan agama pun masih sering tak terelakkan. Nasionalisme baru
terlihat ketika ada ”pencurian” khasanah budaya bangsa oleh bangsa asing, pengambilan
wilayah oleh bangsa asing, atau ketika wakil Indonesia tengah berjuang dalam
pertandingan olahraga. Selebihnya, masyarakat Indonesia masih berpikiran egois,
mengutamakan kepentingan pribadi atau golongannya sendiri.
Sila 4:
Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan
Perwakilan.
Sila
keempat ini menjadi dasar musyawarah dan pengakuan hakikat demokrasi bangsa
Indonesia. Setiap kebijakan yang dibuat pemerintah harus dilakukan dengan penuh
kebijaksanaan dengan mengutamakan musyawarah mufakat terlebih dahulu. Setiap
kebijakan pemerintah harus prorakyat dan sejalan dengan kepentingan rakyat.
Nyatanya,
banyak sekali kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap tidak adil oleh
rakyat. Dalam kasus lumpur Lapindo misalnya, sudah terang-terangan bahwa luapan
lumpur Lapindo terjadi karena kesalahan pihak Lapindo. Akan tetapi, oleh
pemerintah dianggap sebagai bencana alam. Uang negara pun terpaksa dikeluarkan
untuk menangani.
Selain
itu, banyak pula produk Undang-Undang yang dinilai tidak sejalan dengan
kepentingan rakyat. Yang juga menjadi catatan adalah kenyataan bahwa para wakil
rakyat umumnya adalah juga pengusaha. Maka tak heran, banyak sekali produk
Undang-Undang maupun kebijakan yang dikeluarkan sangat erat dengan kepentingan
pribadi mereka. Yang lebih parah, banyak pula Undang-Undang yang rancangannya
ternyata dibuat oleh pihak asing yang tentu saja lebih berpihak pada
kepentingan asing di negeri ini. Banyak yang menilai UU tersebut jauh dari
semangat kerakyatan dan penuh dengan campur tangan asing dan pengusaha berkedok
wakil rakyat.
Secara
demokrasi, banyak yang berpendapat bahwa demokrasi Indonesia adalah demokrasi
yang asal jiplak. Sistem pemilihan langsung tidak selamanya mencerminkan
kehendak rakyat. Rakyat masih begitu gampang terbeli suaranya oleh selembar dua
lembar rupiah. Akibatnya, suara rakyat pun tidak menjadi suara Tuhan, tapi
suara setan yang membisikkan kebusukan, korupsi, dan kolusi bagi penguasa
terpilihnya.
Demokrasi
biaya tinggi hanya dimanfaatkan oleh beberapa kecil individu yang mampu secara
finansial untuk mengikuti Pemilu. Akibatnya, tidak sedikit diantara mereka yang
tega membeli suara rakyat yang pada akhirnya ketika mereka berkuasa,
orientasinya adalah untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan itu, bukan
untuk mensejahterahkan rakyat.
Sila
Kelima: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Sila
kelima menjadi dasar dari hak-hak sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sila ini, berusaha menjamin bahwa setiap individu Indonesia berhak memperoleh
kesejahteraan yang berkeadilan, pembangunan, dan pendidikan yang merata.
Sayangnya,
cita-cita mulia dari sila ini seperti terlalu mustahil untuk diwujudkan
sepenuhnya. Kesenjangan sosial antarmasyarakat masih sangat tinggi.
Perekonomian Indonesia hanya dikuasai oleh segelintir orang-orang kaya, umumnya
pengusaha yang bersekutu dengan penguasa. Produk Domestik Bruto Indonesia
misalnya, 50 persen disumbang oleh tak lebih dari 0,1 persen pengusaha besar,
sementara 50 % sisanya disumbang oleh Usaha Kecil, Mikro, dan Menengah yang
menjadi pilar ekonomi rakyat yang jumlahnya 99,9 persen dari total pengusaha.
Beberapa
fakta tersebut di atas merupakan kendala tersendiri bagi bangsa Indonesia ke
depan. Pertanyaannya, mampukah bangsa Indonesia mengatasi kendala-kendala itu?
Tentu tetap dengan Pancasila sebagai senjata pamungkasnya.
Yang
jelas, bukan Pancasila yang gagal dalam mengawal tercapainya tujuan dan
cita-cita nasional. Akan tetapi, bangsa Indonesia lah yang belum bisa
menerapkan Pancasila itu dalam kehidupannya. Sesempurna apapun ideologi kalau
manusia-manusianya tidak baik ya hasilnya tidak akan baik juga. Akibatnya,
tujuan dan cita-cita nasional itu seolah-olah semakin jauh dari kata tercapai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar